Cari Blog Ini

Kamis, 15 April 2021

PERISTIWA SETELAH KEMERDEKAAN INDONESIA PART II

PERJANJIAN ROEM-ROJEN


Mohammad Roem dan Dr. J.H. van Roijen merupakan dua nama wakil delegasi antara Indonesia dan Belanda yang menandatangani sebuah persetujuan. Setelah melalui perundingan yang berlarut-larut, maka akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan, yang kemudian dikenal dengan nama “Roem-Royen Statements”. 
Dewan Keamanan LBB  telah mengeluarkan sebuah resolusi pada tanggal 1 Agustus 1947 yang berkenaan dengan permasalahan Agresi Militer Belanda ke-1, sebagai berikut: Dewan Keamanan menyerukan kepada kedua pihak: 
a. Segera menghentikan tindakan-tindakan perrnusuhan dan; 
b. Menyelesaikan sengketanya dengan arbitrasi atau dengan cara damailainnya dan senantiasa memberitahukan kepada DewanKeamanan untuk kemajuan dari usahanya”. 

Atas dasar resolusi tersebut maka akhirnya konflik bersenjata antara pemerintah Republik Indonesia dengan pihak Belanda, dapat segera diakhiri melalui jalur diplomasi, yakni dengan digelarnya Perundingan Roem-Roijen pada tanggal 14 April 1949, dimana dari pihak Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem dan dari pihak Belanda oleh Dr. J.H. van Roijen, atas prakarsaUNCI (United NationsCommission for Indonesia) di HotelDes Indes Jakarta. Pada saat itu atasanjuran pihak UNCI diadakan pertukaran pernyataan yang disebutdengan “van Roijen-Roem Statements” atau “Persetujuan RoemRoijen” mengenai penyerahan daerah Ibukota Yogyakarta kepadaPemerintah Republik Indonesia. 

Pada saat itu BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) juga menyatakan pendapatnyabahwa soal pertama secara keseluruhan harus dianggap sebagai masalahbangsa Indonesia saja, oleh sebab itu maka masalah tersebut harus menjadi prioritas untuk dibahas terlebih duludalam suatu Konferensi InterIndonesia sebelum persoalan itu dibicarakandalam Konferensi Meja Bundar (KMB).Dengan pertimbangan tersebut, maka pada tanggal 7 Mei 1949 dalam sebuah rapatyang diadakan oleh BFO, memutuskan: 
1) Menganggap perlu membicarakan kerangka dasar Tata NegaraIndonesia Serikat diantara sesama bangsa Indonesia dalam sebuahKonferensi InterIndonesia sebelum KMB. 
2) Masalah-masalah yang menyangkut penyerahan kedaulatan dansegala sesuatu yang berhubungan dengan itu, termasuk soal statusUni Belanda-Indonesia secara resmi akan dilakukan dalam KMB(Konferensi Meja Bundar) yang akan datang.

Sebagai tindak lanjut dari Persetujuan Roem-Roijen tersebut, maka pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan formal antara pihak Republik Indonesia, pihak BFO, dan pihak Pemerintah Belanda di bawah pengawasan Komisi Liga Bangsa-Bangsa, yang dipimpin oleh Mr. Critchley dari Negara Australia. Adapun hasil perundingan tersebut adalah sebagai berikut: 
a) Pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1949. Keresidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda pada tanggal 1 Juli 1949 dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TRI menguasai keadaan sepenuhnya daerah itu 
b) Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintahan RI ke Yogyakarta
c) Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag

KONFERENSI INTER INDONESIA

Berdasarkan hasil Perjanjian Roem-Royen pada tahun 1949, Pemerintah Republik Indonesia dan BFO selaku anggota dari Republik Indonesia Serikat (RIS) akan bertemu kembali dengan Kerajaan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar untuk membicarakan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia.

Untuk mempersiapkan diri sebagai sebuah front bersatu, Ide Anak Agung Gde Agung dari BFO mengundang Republik Indonesia untuk menyamakan posisi antara kelompok federalis dan republikan di Konferensi Meja Bundar nanti. Konferensi Inter-Indonesia terjadi sebanyak dua kali, pertama di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949, dan yang kedua di Batavia pada tanggal 20-22 Juli 1949.

Konferensi Inter Indonesia adalah konferensi yang berlangsung antara Negara Indonesia dengan Negara-negara boneka/Negara bentukan Belanda yang tergabung dalam BFO (Bijenkomst Voor Federal Overslag). Awalnya BFO diharapkan oleh Belanda untuk mempermudah mengusai Indonesia kembali. Namun sikap Negara- Negara dalam BFO berubah setelah Belanda melancarkan agresi militernya kepada Indonesia untuk yang kedua kalinya. Karena simpati dari Negara-negara BFO membebaskan pemimpin-pemimpin Indonesia, BFO juga turut berjasa atas terselenggaranya Konferensi Inter Indonesia. Hal itu lah yang melatarbelakangi Konferensi Inter Indoneisa di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949.

Konferensi Inter Indonesia banyak membahas konsep dan teknis pembentukan RIS. Konferensi Inter-Indonesia juga digunakan sebagai konsolidasi internal menjelang digelarnya Konferensi Meja Bundar yang dimulai pada 23 Agustus 1949. Hasil kesepakatan dari Konferensi Inter-Indonesia adalah:

  1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi dan federalisme (serikat).
  2. RIS akan dikepalai oleh seorang Presiden dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden.
  3. RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari kerajaan Belanda.
  4. Angkatan perang RIS adalah angkatan perang nasional, dan Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS.
  5. Pembentukkan angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri.

KONFERENSI MEJA BUNDAR

Setelah berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri dalam Konferensi Inter-Indonesia maka bangsa Indonesia secara keseluruhan menghadapi Konferensi Meja Bundar. Konferensi ini dilaksanakan pada 23 Agustus-2 November 1949 di Den Haag, Negeri Belanda. 
Untuk menghadapi Konferensi Meja Bundar, dibentuk delegasi Republik Indonesia pada 11 Agustus 1949, yang terdiri dari Moh. Hatta (ketua), Moh. Roem, Mr. Supomo, Dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, Sukiman, Mr. Sujono Hadinoto, Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T. B. Simatupang dan Mr. Muwardi. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. Konferensi menghasilkan keputusan sebagai berikut. 
1. Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. 
2. Status Keresidenan Irian Barat diselesaikan dalam waktu setahun sesudah pengakuan kedaulatan. 
3. Akan dibentuk Uni IndonesiaBelanda berdasarkan kerja sama suka rela dan sederajat. 
4. Republik Indonesia Serikat mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hakhak konsesi dan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda. 
5. Republik Indonesia Serikat harus membayar semua utang Belanda sejak 1942. 

Suasana KMB di Deen Haag Belanda



Selanjutnya, pada 27 Desember dilaksanakan upacara penandatanganan akta penyerahan kedaulatan di Indonesia hasil Konferensi Meja Bundar. Penyerahan kedaulatan ini dilakukan di ruang tahta Amsterdam. Penandatanganan akta penyerahan kedaulatan dilakukan oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri, Willem Drees, Menteri Seberang Lautan A.M.J.A. Sasseu, dan Moh. Hatta. Pada saat yang sama, di Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda, A.H.S. Lovink di Istana Merdeka menandatangani naskah penyerahan kedaulatan. Dengan penyerahan kedaulatan itu, secara formal Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan kekuasaan negara Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, kecuali Irian Barat yang akan diserahkan setahun kemudian. 

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA PART II

KERAJAAN DEMAK



Berdirinya Kerajaan Demak

Demak adalah kesultanan Islam pertama di pulau Jawa. Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah. Raden Patah adalah pendiri dan sekaligus sebagai sultan pertama di kesultanan Demak yang bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Raden Patah adalah salah satu murid Sunan Kudus yang ulung. Karena itu, ketika ia diangkat menjadi Sultan Demak, maka Sunan Kuduslah yang selalu mendampinginya. Untuk menjaga kewibawaan negara, maka dibangunlah angkatan perang kesultanan Demak. Angkatan perang ini bukan saja sebagai penjaga dan pengayom negara, tetapi juga untuk mewujudkan cita-cita agama Islam sebagaimana yang telah dirintis oleh Wali Songo. Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah adalah putra Brawijaya (raja terakhir Majapahit) dengan seorang selir Cina. Karena Ratu Dwarawati (sang permaisuri) yang berasal dari Campa itu merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina itu pada putra sulungnya yang bernama Arya Damar (bupati Palembang). Kemudian lahirlah Raden Patah. kemudian Hasil pernikahan dengan Arya Damar, putri Cina itu melahirkan Raden Kusen. Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong menyatakan, bahwa nama panggilan Raden Patah sewaktu masih muda bernama Jin Bun yang merupakan putra Kung-ta-bu-mi (Bhre Kertabhumi) raja Majapahit. Kemudian selir Cina diberikan pada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Dari perkawinan kedua itu, sang putri melahirkan Kin San. Kronik Cina tersebut memberitakan bahwa tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa sewaktu Raden Patah lahir, Bhre Kertabhumi belum menjadi raja. 
Raden Patah yang kemudian pindah ke Jawa Tengah itu membuka hutan Gelagah Wangi untuk dijadikan pesantren. Konon pesantren Gelagah Wangi ini kian hari kian mengalami kemajuan. Raden Patah kemudian di angkat sebagai bupati. Sedangkan Gelagah Wangi di ganti dengan nama Demak yang beribukota di Bintara. 

Masa Kejayaam Kerajaan Demak

Pada masa Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Raden Patah merasa berkewajiban untuk membantu. Jatuhnya kerajaan Malaka berarti putusnya jalur perdagangan nasional. Untuk itu, ia mengirimkan putrannya, Pati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka. Namun, usaha itu tidak berhasil. Setelah Raden Patah wafat pada tahun 1518, ia digantikan oleh putranya Pati Unus. Pati Unus hanya memerintah tidak lebih dari tiga tahun. Ia wafat tahun 1521 dalam usahanya mengusir Portugis dari kerajaan Malaka.
Saudaranya, Sultan Trenggono, akhirnya menjadi raja Demak ketiga dan merupakan raja Demak terbesar. Sultan Trenggono berkuasa di kerajaan Demak dari tahun 1521-1546. Sultan Trenggono dilantik menjadi raja Demak oleh Sultan Gunung Jati. Ia memerintah Demak dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya dan agama Islam berkembang lebih luas lagi. Sultan Trenggono mengirim Fatahilallah ke Banten. Dalam perjalanannya ke Banten, Fatahillah singgah di Cirebon untuk menemui Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Bersama-sama dengan pasukan Kesultanan Cirebon, Fatahillah kemudian dapat menaklukan Banten dan Pajajaran.

Mundurnya Kerajaan Demak

Setelah wafatnya Sultan Trenggono pada tahun 1546, Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran karena terjadinya perebutan kekuasaan. Perebutan tahta Kerajaan Demak ini terjadi antara Sunan Prawoto dengan Arya Penangsang. Arya Penangsang adalah Bupati Jipang (sekarang Bojonegoro) yang merasa lebih berhak atas tahta Kerajaan Demak. Perebutan kekuasaan ini berkembang menjadi konflik berdarah dengan terbunuhnya Sunan Prawoto oleh Arya Penangsang. Arya Penangsang juga membunuh adik Sunan Prawoto, yaitu Pangeran Hadiri. Usaha Arya Penangsang menjadi Sultan Demak di halangi oleh Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggono. Jaka Tingkir mendapat dukungan dari para tetua Demak, yaitu Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi. Konflik berdarah ini akhirnya berkembang menjadi Perang Saudara. Dalam pertempuran ini, Arya Penagsang terbunuh sehingga tahta Kerajaan Demak jatuh ke tangan Jaka Tingkir. Jaka Tingkir menjadi raja Kerajaan Demak dengan gelar Sultan Hadiwijya. Ia kemudian memindahan pusat kerajaan Demak ke daerah Pajang.Walaupun sebenarnya sudah menjadi kerajaan baru, kerajaan Pajang masih mengklaim diri sebagai penerus Kerajaan Demak. Sebagai tanda terima kasih kepada Ki Gede Pemanahan yang telah mendukungnya, Sultan Hadiwijaya memberikan sebuah daerah Perdikan (otonom) yang disebut Mataram. Ki Gede Pemanahan kemudian menjadi penguasa Mataram dan di sebut Ki Gede Mataram. Sultan Hadiwijaya bukanlah digantikan oleh putranya, yakni Pangeran Benawa, melainkan putra Sunan Prawoto, Aria Pangiri. Pangeran Benawa sendiri diangkat sebagai penguasa daerah Jipang. Pangeran Benawan kurang puas dengan keputusan ini. Apalagi, pemerintahan Aria Pangiri di Pajang juga dikelilingi oleh para bekas pejabat Kerajaan Demak. Pangeran Benawa kemudian minta bantuan kepada Sutawijaya, putra Ki Ageng Mataram, untuk merebut Pada tahun 1588, Sutawijaya dan Pangeran Benawan berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Pajang. Kemudian, Benawa menyerahkan hak kuasanya pada Sutawijaya secara simbolis melalui penyerahan pusaka Pajang pada Sutawijaya. Dengan demikian, Pajang menjadi bagian kekuasaan Kerajaan Mataram.


KERAJAAN MATARAM ISLAM

Berdirinya Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram Islam adalah kerajaan yang berdiri pada abad ke-17 di Pulau Jawa. Kerajaan ini dipimpin oleh keturunan Ki Ageng Pemanahan, sebagai suatu kelompok ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kasultanan Pajang, berpusat di "Hutan Mentaok". Raja pertama adalah Sutowijoyo (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan. Berkat keberhasilannya membunuh Arya Penangsang dalam perang perebutan tahta atas Demak, Kyai Ageng Pemanahan mendapat hadiah tanah di Mataram dari Sultan Pajang. Di tempat inilah Kyai Ageng Pemanahan dan pengikutnya kemudian membuka hutan untuk dijadikan tempat permukiman. Di dalam sejarah Islam kerajaan Mataram ini berperan penting dalam perjalanan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Hal ini ditunjukkan dengan semangat raja-raja Mataram untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya dengan keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak Islam di Jawa. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Kerajaan ini pernah dua kali menyerang VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya perdagangan itu, namun ironisnya justru harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.

Ekspansi Kerajaan Mataram Islam 

Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris atau pertanian dan relatif tidak kuat dalam hal maritim. Kerajaan ini meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia (sekarang bernama Jakarta) dikuasai oleh Belanda. Sehingga di tahun 1628 dan 1629 Kerajaan Mataram pimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma menyerang Batavia. Penyerangan pertama gagal namun serangan kedua berhasil membunuh J.P. Coen. Basis penyerangan Kerajaan Mataram inilah yang sekarang disebut dengan daerah Matraman. Selanjutnya Kalimalang karena pada saat pasukan Kerajaan Mataram menyerang Batavia di tahun 1628 menemukan sungai yang bukan mengarah ke laut atau ke utara. Namun mengalir ke arah barat sehingga disebut dengan Kalimalang. Dalam bahasa Jawa arti dari kali adalah sungai sedangkan malang adalah melintang. Begitu juga Pademangan saat Kerajaan Mataram menyerang Batavia pada tahun 1628 banyak panglima perang yang tidak pulang ke Kerajaan Mataram. Sebab takut dipenggal kepalanya karena gagal menguasai Kota Batavia. Salah satu panglima tersebut menetap di Kota Batavia dan menjadi demang (penguasa setingkat desa dalam budaya Jawa). Karena itu daerah tersebut diberi nama Pademangan.  
Akibat terjadi perselisihan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kasultanan Banten dan Kasultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC.Masih mengenai ekspansi Kerajaan Mataram, Banten dan Batavia merupakan dua wilayah yang menjadi target serangan berikutnya. Serangan ke Banten dilakukan karena kerajaan itu menolak mengakui kekuasaan Mataram atas seluruh Jawa. Sementara itu, serangan ke Batavia dipicu oleh kemarahan Sultan Agung terhadap VOC yang menolak membantunya dalam serangannya ke Surabaya (D.G.E. Hall, tt: 274). Serangan yang berlangsung dua kali (tahun 1628 dan 1629) itu tidak membuahkan hasil. Persoalan logistik menjadi penyebab utama. Kegagalan serangan ke wilayah barat tidak mengurangi ambisi Susuhunan Ingalaga Mataram untuk mewujudkan kembali wilayah Majapahit maupun Demak. Sehubungan dengan hal itu, mulamula ia menempatkan penduduk dari Jawa Tengah dan Sumedang di daerah Krawang yang kala itu berupa semak belukar. Selain membuka hutan tersebut, mereka juga diwajibkan untuk menjadikan Krawang sebagai daerah pertanian padi Mataram. Selanjutnya, membangun jalan-jalan yang menghubungkan Krawang dengan Mataram. Berikutnya, Sultan juga bersekutu dengan orang orang-orang Portugis di Malaka dan orang-orang Inggris di Banten. Adapun pengiriman beras ke Batavia dilarang dan sebagai gantinya pedagang-pedagang beras diperintahkan untuk langsung mengirimkan dagangannya ke Malaka. Kegagalan penyerangan ke Batavia juga mengubah arah politik Kerajaan Mataram. Salah satu perubahan yang mencolok, sebagaimana tercatat dalam Daghregister, adalah penarikan kapalkapal perang Mataram dari Teluk Krawang pada awal Maret 1634 (J.J. de Graaf, 1986: 197). Selanjutnya, ekspansi wilayah yang tadinya mengarah ke barat beralih ke timur, terutama wilayah Blambangan dan Bali. Usaha tersebut berhasil dengan baik. Blambangan menyerah pada tahun 1639 dan mayoritas penduduknya dipindahkan ke pusat kerajaan meskipun akhirnya bersama-sama dengan Bali menghalau serangan Mataram dengan berani luar biasa dan mempertahankan kebebasannya. 

Islamisai Kerajaan Mataram Islam

Pada masa pemerintahan Sultan Agung para ulama yang berada di kasultanan terbagi dalam tiga bagian. Yaitu ulama yang masih berdarah bangsawan, ulama yang bekerja sebagai tenaga birokrasi, dan ulama pedesaan yang tidak menjadi tenaga brokrasi. Sebagai penguasa Sultan Agung sangat menghargai para ulama karena mereka memiki moral dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Jika ingin membuat kebijakan Sultan Agung selalu meminta nasehat dan pertimbangan kepada para ulama (Darmawijaya, 2010 : 74-75). Peran ulama pada saat itu lebih menitikberatkan pada Islamisasi terhadap budaya-budaya yang masih melekat dihati masyarakat Mataram. Seperti Sunan Kalijogo, beliau adalah seorang ulama yang selalu berusaha dengan keras agar ajaran agama Islam mudah diterima oleh masyarakat yang sudah kuat tertanam nilai kepercayaannya sebelum Islam masuk. Beliau dengan sabar mensiarkannya melalui karya seni yang sudah mentradisi di masyarakat. Pindahnya pusat pemerintahan dari pesisir utara Jawa ke daerah pedalaman yang bersifat agraris dan telah dipengaruhi oleh budaya dan tradisi sebelumnya. Demikianlah kondisi keberadaan Islam semenjak berpusat di Mataram campur tangan budaya setempat yang kemudian terkenal dengan Islam Kejawen. Penggunaan gelar Sayidin Panatagama oleh Panembahan Senopati menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya Mataram telah dinyatakan sebagai pemimpin dan pengatur agama. Mataram mewarisi agama dan peradaban Islam dari kerajaan Pesisir yang telah berdiri sebelumnya. Sunan Kalijogo sebagai penghulu di masjid Demak mempunyai pengaruh besar di Mataram baik sebagai pemimpin agama maupun pembimbing di bidang politik. Hubungan yang sangat erat dengan Cirebon memiliki peranan penting bagi perkembangan Islam di Mataram. Sifat mistik dari keraton Cirebon merupakan unsur yang penting, sehingga memudahkan Islam diterima oleh masyarakat Jawa di Mataram. Islam tersebut tentu adalah Islam sinkritisme yang menyatukan diri dengan unsur-unsur Hindu-Budha. 

Pemerintahan Amangkurat I (1645-1677) 

Mangku Rat I atau Amangkurat I (1646-1677) adalah raja Mataram berikutnya pengganti Sultan Agung. Di tahun pertama pemerintahannya ia menandatangi perjanjian damai dengan VOC yang berisi enam pasal. Dalam perjanjian tersebut diantaranya terdapat pasal yang mengatur pengiriman utusan Belanda ke Mataram, kesediaan Belanda mengatur perjalanan ulama Mataram, pembebasan tawanan Belanda di Mataram, penyerahan orang-orang berutang, perang bersama, serta pelayaran bebas di Kepulauan Maluku. Perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 24 September 1646 itu disambut suka cita oleh Belanda. Dentuman-dentuman meriam sebagai ekspresi perayaan perdamaian terdengar dari loji-loji Belanda. Pemerintahan di Plered bertumpu pada kekuatan militer. Rijklof van Goens mencatat bahwa Mangku Rat I memiliki 920.000 tentara dan 115.500 prajurit.  pemberontakan-pemberontakan pun mulai bermunculan, salah satunya adalah pemberontakan yang dimulai di Madura di bawah pimpinan Trunojoyo (1674) yang merupakan seorang pangeran dari Arisbaya. Dampak pemberontakan Trunojoyo berpengaruh terhadap luas wilayah Batavia.Mataram tidak hanya berkewajiban membayar semua biaya perang yang dikeluarkan Belanda untuk membantu menumpas pemberontakan Trunojoyo, melainkan juga menjamin konsesi perdagangan Belanda dengan menyerahkan banyak sekali daerah di selatan Batavia, pelabuhan, serta distrik Mataram juga sejumlah kota pantai utara Jawa sebagai jaminan. ). Raja Amangkurat I wafat semasa bergerak mundur di Tegal pada Juli 1677. Putra mahkota menggantikan ayahnya dan memakai gelar Amangkurat II.

Pemerintahan Amangkurat II (1677-1703)

Jatuhnya Plered membuat Adipati Anom sebagai penguasa baru Mataram kembali memindahkan ibu kota. Kali ini Kartasura dipilih sebagai pusat pemerintahan. Pemerintahan di Kartasura sepenuhnya dibawah bayang-bayang Belanda. Sementara terkait dengan kewilayahan Mataram di bawah Mangku Rat II kembali harus kehilangan wilayahnya. Beberapa di antaranya ialah distrikdistrik di perbukitan Priangan, Bogor, Krawang, serta Cirebon. Situasi ini memicu pemberontrakan yang dipimpin oleh Surapati (1678) seorang bekas budak Bali di Batavia. 

Pemrintahan Amngkurat III dan Paku Buwono I

Meninggalnya Mangku Rat II pada tahun 1703 membuat tampuk pemerintahan Mataram beralih ke puteranya yakni Sunan Mas yang bergelar Mangku Rat III. Pemimpin Mataram ini dikenal karena pemerintahannya yang tiran dan penuh darah. Di samping itu ia juga terlibat perselisihan dengan pamannya, Pangeran Puger, sehingga menyebabkan perselisihan yang disebut Belanda sebagai Perang Suksesi Pertama. Perebutan tahta di Mataram setahun setelah meninggalnya Mangku Rat II mendorong Belanda mengambil keuntungan. Pangeran Puger yang melarikan diri ke Semarang mendapat bantuan dari Belanda karena Sunan Mas bersekutu dengan Surapati untuk melawan Belanda. Sebagai imbalannya Pangeran Puger diangkat sebagai penguasa baru Mataram dengan gelar Paku Buwono I. Dari sisi kewilayahan dukungan Belanda terhadap Paku Buwono I berdampak pada menyusutnya wilayah Mataram. Melalui perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1705 membuat Mataram harus menyerahkan daerah-daerahnya. 

Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian yang disusun sebagai bentuk kesepakatan antara pihak Belanda yaitu perusahaan dagang bernama Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) dengan pihak Indonesia yaitu Kesultanan Mataram Islam. Perjanjian ini ditandatangani pada 13 Februari 1755. Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian antara VOC, pihak Kesultanan Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III, dan kelompok Pangeran MangkubumiBagi Belanda, perjanjian ini memberi banyak keuntungan. Kekuasaan Belanda semakin kuat mencengkeram tanah Jawa. Setelah perjanjian ditanda tangani, Jawa sepenuhnya berada di bawah pengaruh VOC
Secara garis besar isi Perjanjian Giyanti adalah membagi Mataram menjadi dua bagian, yakni Kasunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Pakubuwana III dan Kasultanan Yogyakarta di bawah rajanya yang bergelar Hamengkubuwana I. Sebelumnya, keraton Surakarta telah berdiri terlebih dahulu pada kurun waktu kekuasaan Pakubuwana II sebagai pengganti keraton Kartasura yang hancur lantaran serangan orang-orang Tionghoa di bawah kepemimpinan Amangkurat V
Perjanjian Giyanti memuat beberapa pasal, diantaranya yaitu:

1. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas separuh dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.

2. Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.

3. Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur

4. Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.

5. Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.

6. Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.

Peta Kerajaan Mataram Islam setelah melaksanakan perjanjian Giyanti dan Salatiga


Perjanjian Salatiga

Perjanjian Salatiga adalah perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga. Perjanjian ini adalah penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan Dengan berat hati, Sultan Hamengkubuwono I dan Sunan Pakubuwono III melepaskan beberapa wilayahnya untuk Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa). Ngawen yang kini berada di Gunungkidul, Yogyakarta dan sebagian Surakarta (Karanganyar dan Wonogiri) menjadi kekuasaan Pangeran Sambernyawa.

Perjanjian ini ditandatangani oleh Raden Mas Said, Sunan Pakubuwono III, VOC, dan Sultan Hamengkubuwono I di sebuah gedung bernama Gedung Pakuwon yang terletak di Jalan Brigjen Sudiarto No. 1, Kota Salatiga.

Di saat Pangeran Mangkubumi menempuh jalan perundingan damai dengan imbalan mendapat separuh bagian kekuasaan Mataram melalui Perjanjian Giyanti dan menjadi Sultan Hamengkubuwana I, Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) tetap melancarkan perlawanan.Dengan keberhasilan VOC menarik Pangeran Mangkubumi kedalam kubunya maka perlawanan Pangeran Sambernyawa menjadi menghadapi Pangeran Mangkubumi,Sunan Paku Buwono III dan VOC.Pangeran Sambernyawa tidak mau menyerah kepada salah satu dari ketiganya atau semuanya.Ketika VOC menyarankan untuk menyerah kepada salah satu dari dua penguasa (Surakarta, Yogyakarta) Pangeran Sambernyawa bahkan memberi tekanan kepada ketiganya supaya Mataram dibagi menjadi tiga kekuasaan.VOC ingin keluar dari kesulitan untuk mengamankan kantong finansial dan menyelamatkan kehadirannya di Jawa, sementara peperangan tidak menghasilkan pemenang yang unggul atas empat kekuatan di Jawa.Gabungan tiga kekuatan ternyata belum mampu mengalahkan Pangeran Sambernyawa sedang sebaliknya Pangeran Sambernyawa juga belum mampu mengalahkan ketiganya bersama sama.

Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 di Salatiga adalah solusi dari keadaan untuk mengakhiri peperangan di Jawa. Dengan berat hati Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III melepaskan beberapa wilayahnya untuk Pangeran Sambernyawa.Ngawen di wilayah Yogyakarta dan sebagian Surakarta menjadi kekuasaan Pangeran Sambernyawa.

Pihak-pihak yang menandatangani perjanjian ini adalah Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta, dan VOC, Kesultanan Yogyakarta, diwakili oleh Patih Danureja, juga terlibat. Perjanjian ini memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta. 

Setelah disepakati bersama pada tanggal 17 Maret 1757 isi Perjanjian Salatiga yaitu:

  1. Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji (Pangeran yang mempunyai status setingkat dengan raja-raja di Jawa).
  2. Pangeran Miji tidak diperkenankan duduk di Dampar Kencana (Singgasana)
  3. Pangeran Miji berhak untuk meyelenggarakan acara penobatan raja dan memakai semua perlengkapan raja.
  4. Tidak boleh memiliki Balai Witana.
  5. Tidak diperbolehkan memiliki alun-alun dan sepasang ringin kembar.
  6. Tidak diperbolehkan melaksanakan hukuman mati.
  7. Pemberian tanah lungguh seluas 4000 karya yang tersebar meliputi Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, Pajang sebelah utara dan selatan.






Kamis, 08 April 2021

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA PART I

KERAJAAN SAMUDRA PASAI

Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara
Sumatera, sekitar Kota Lhokseumawe , Aceh Utara Provinsi Aceh, Indonesia saat ini.
Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Meurah Silu, yang bergelar Sultan Malik asSaleh, sekitar tahun 1267.

Keberadaan Kerajaan Samudera Pasai tercantum dalam kitab Rihlah ila lMasyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368),
musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Beberapa sejarahwan
juga memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja
Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan
emas dan perak dengan tertera nama rajanya.

Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Kerajaan
Samudera Pasai berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan
perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya seperti Ma Huan dan Fei
Xin.

Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi
andalannya, dalam catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga
perak 1 tahil. Dalam perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai
alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini disebut Deureuham (dirham) yang
dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.

Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh
Hindu dan Buddha juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan
Tomé Pires,telah membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat
Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran,
perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam
di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri
Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.

  • Kehidupan Eknomi
Kehidupan Eknomi masyakarat Kerajaan Samudera Pasai berkaitan dengan
perdagangan dan pelayaran. Hal itu disebabkan karena letak Kerajaan Samudera Pasai
yang dekat dengan Selat Malaka yang menjadi jalur pelayaran dunia saat itu. Samudra
Pasai memanfaatkan Selat Malaka yang menghubungkan Samudra Pasai – Arab –
India – Cina. Samudra Pasai juga menyiapkan bandar-bandar dagang yang digunakan
untuk menambah perbekalan untuk berlayar selanjutnya, mengurus masalah
perkapalan, mengumpulkan barang dagangan yang akan dikirim ke luar negeri, dan
menyimpan barang dagangan sebelum diantar ke beberapa daerah di Indonesia.

  • Kehidupan Sosial-Budaya
Kerajaan Samudera Pasai sangat dipengaruhi oleh Islam. Hal itu terbukti terjadinya
perubahan aliran Syiah menjadi aliran Syafi’i di Samudera Pasai ternyata mengikuti
perubahan di Mesir. Pada saat itu di Mesir sedang terjadi pergantian kekuasaan dari
Dinasti Fatimah yang beraliran Syiah kepada Dinasti Mameluk yang beraliran Syafi’i.
Aliran syafi’i dalam perkembangannya di Pasai menyesuaikan dengan adatistiadat
setempat sehingga kehidupan sosial masyarakatnya merupakan campuran Islam
dengan adat istiadat setempat.


  • Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai
  1. Cakra Donya adalah sebuah lonceng yang berbentuk stupa buatan negeri Cina pada tahun 1409 M.
    Ukurannya tinggi 125cm sedangkan lebarnya 75cm. Pada bagian luar Cakra Donya
    terdapat beberapa hiasan serta simbol-simbol kombinasi aksara Cina dan Arab. Aksara
    Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo, sedangkan aksara Arab sudah
    tidak terbaca lagi.

  2. Makam Sultan :  Makam Sultan Malik Al-Shaleh,  Makam Sultan Muhammad Malik Al- Zahir,  Makam Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah,  Makam Teungku Peuet Ploh Peuet,  Makam Ratu Al-Aqla (Nur Ilah) 
  3. Stempel Kerajaan Samudra Pasai Naskah Surat Sultan Zainal Abidin adalah  Stempel ini diduga milik Sultan Muhamad Malikul Zahir oleh Tim peneliti Sejarah
    Kerajaan Islam. Di temukan Desa Kuta Krueng, Kec Samudera, Kabupaten Aceh Utara.
    Saat ditemukan stempel dalam keadaan patah pada bagian gagangnya.

  4. Mata Uang  Dirham 

KERAJAAN ACEH


BERDIRINYA KERAJAAN ACEH

Melihat banyak negeri di semenanjung Sumatera sudah berada di bawah kekuasaan portugis, Ali Mughayat Syah mempunyai tekad untuk mengusir Portugis.  Dengan tekad itulah, Sultan Ali Mughayat Syah memproklamirkan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1511 M. Kerajaan Aceh Darussalam berhasil membangun kebudayaan yang tinggi di kawasan Kepulauan Nusantara serta Kerajaan Aceh Darussalam menjadikan Islam menjadi dasar dari negaranya. 

SULTANAH KERAJAAN ACEH

Sepanjang riwayat Kesultanan Aceh Darussalam sejak diproklamirkan berdirinya Kerajaan Aceh hingga kepemimpinan para sultanah menurut Prof Ahwan, mengutip pada Harun Tucer dalam Osmanlinin Gelgesyide Biz Uzakdogu Deobet Ace tercatat telah berganti 12 Sultan, diantaranya:

1. 1496-1528 Ali Mughayat Syah
2. 1528-1537 Salahuddin
3. 1537-1568 Alauddin al Kohar
4. 1569-1575 Husein Ali Riayat Syah
5. 1575-1576 Sri Alam
6. 1576-1577 Zaenal Abidin
7. 1577-1589 Alauddin Mansyur Syah
8. 1589-1596 Buyung
9. 1596-1604 Alauddin Riayat Syah
10. 1604-1607 Ali Riayat Syah
11. 1607-1636 Iskandar Muda
12. 1636-1641 Iskandar Tsani


MASA KEJAYAAN KERAJAAN ACEH

Kekuasaan Aceh yang paling menguntungkan dalam hal ekspansi wilayah menurut Beaulieu adalah pada masa Sultan Iskandar Muda. Ia mampu melebarkan kekuasaanya dari timur, barat bahkan negara di semenanjung Melayu. Di sebelah timur, ia mampu melakukan ekspansi ke Pedir, Pasai, Deli dan Aru. Di sebelah barat, ia menguasai Daya, Labu, Singkel, Barus, Bataham, Pasaman, Padang, Tiku dan Priaman. Sedangkan negara di semenanjung Melayu yang dikuasainya meliputi Johor,Kedah, Pahang dan Perak. Sultan Iskandar Muda mampu membentuk Kerajaan Aceh Darussalam menjadi kerajaan yang paling kuat di Nusantara bagian barat. Keberhasilan tersebut di dukung oleh persenjataan dan kekuatan militer yang baik. 

SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN ACEH

Dalam pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam, mereka mengggunakan sistem permusyawaratan. Terdapat tiga balai permusyawaratan dalam kerajaan, dintaranya:
1. Bairung Sari yaitu tempat yang digunakan untuk berkumpulnya empat hulubalang (pembantu sultan di daerah), tujuh alim ulama dan para menteri dalam merundingkan sistem pemerintahan.
2. Balai Gading yaitu tempat yang digunakan untuk berkumpulnya delapan hulubalang, tujuh alim ulama dan para menteri dalam berunding.
3. Majelis Mahkamah Rakyat, majelis ini beranggotakan wakil rakyat yang berjumlah 173 dan 73 wakil mukim berunding.

Dalam masa Sultan Alauddin Al Qahhar, masyarakat dibagi menjadi dua kelompok yaitu berdasarkan sukee atau kaom. Orang yang berdarah Batak disebut sukee atau kaom lhee reutoih, sedangkan orang Hindu disebut kaom imeum peut dan orang pendatang disebut kaom tok bate. Langkah Sultan Alaiddin Al Qahhar dalam membagi masyarakat berdasarkan sukee atau kaom menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai peranan penting dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Sehingga tidak ada lagi perbedaan orang Batak, Hindu maupun pendatang. Semua masyarakat mempunyai peran penting dalam kerajaan.

Kerajaan Aceh Darussalam dalam hal perundang-undangan memiliki sistem yang disebut Adat Meukota Alam. Undang-undang ini dijadikan sebagai acuan dari pembuatan undang-undang di kerajaan lain. Kerajaan menjadikan Islam sebagai dasar Negara dan sebagai Qanun Meukuta Alam. Menurut A.C Milner, Kerajaan Islam seperti Aceh dan Banten merupakan Kerajaan Islam di Nusantara yang paling menonjolkan hukum Islam sebagai dasar kerajaan mereka.
 
Kerajaan Aceh Darussalam terbagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah sagi dan wilayah pusat. Wilayah sagi terbagi menjadi wilayah yang lebih kecil lagi seperti distrik. Wilayah distrik terbagi lagi atas mukim dan wilayah mukim terbagi menjadi gampong-gampong. Dalam wilayah sagi dikepalai oleh panglima sagi atau hulubalang besar yang bergelar teuku, sedangkan wilayah distrik dikepalai oleh hulubalang yang bergelar datuk.

Ketika Agama Islam sudah mengakar di Kerajaan Aceh Darussalam, peran saudagar muslim dalam menyebarkan Agama Islam digantikan oleh ulama pada saat itu. Mereka memegang pengaruh yang sangat tingggi di kerajaan. Ulama bertindak sebagai pihak yang bertanggung jawab mengurus persoalan
keagamaan dalam kerajaan. Mereka membantu sultan sebagai penasehat kerajaan, baik dari hal agama sampai ekonomi dan politik.

JATUHNYA KERAJAAN ACEH

Setelah meninggalnya Sultan Iskandar Tsani, Kerajaan Aceh Darussalam mengalami krisis suksensi pergantian sultan. Pada awalnya Sultan Iskandar Tsani dan Tajul Alam Syafiyatuddin Syah tidak mempunyai keturunan putera mahkota. Sehingga, istri dari Sultan Iskandar Tsani diusulkan menjadi raja. Perdebatan mengenai kepemimpinan perempuan di kalangan beberapa kelompok yang setuju dengan kelompok yang tidak setuju akan kepemimpinan perempuan terjadi dengan waktu yang lama. Pada akhirnya Syekh Nuruddin ar-Raniry menegaskan hukum mengenai dibolehkanya perempuan untuk menjadi pemimpin. Selama pengangkatan keempat sultanah, terjadi konflik penolakan di antara kelompok yang kontra terhadap kepemimpinan perempuan. Protes dari pihak oposisi mencapai klimaksnya pada masa Sultanah Keumalat Syah, sehingga dari pihak yang menentang kepemimpinan perempuan dapat menggulingkan kepemimpinan sultanah dan berakhir pula pemerintahan Kerajaan Aceh. 















SOAL PENILAIAN AKHIR TAHUN (SEMESTER GENAP) SEJARAH INDONESIA KELAS XI

1) Untuk menguasai kawasan Asia Pasifik Jepang menyerang pangkalan Amerika, dikawasan Asia Pasifik. Peristiwa penyerangan Jepang terhadap pa...