Cari Blog Ini

Kamis, 15 April 2021

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA PART II

KERAJAAN DEMAK



Berdirinya Kerajaan Demak

Demak adalah kesultanan Islam pertama di pulau Jawa. Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah. Raden Patah adalah pendiri dan sekaligus sebagai sultan pertama di kesultanan Demak yang bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Raden Patah adalah salah satu murid Sunan Kudus yang ulung. Karena itu, ketika ia diangkat menjadi Sultan Demak, maka Sunan Kuduslah yang selalu mendampinginya. Untuk menjaga kewibawaan negara, maka dibangunlah angkatan perang kesultanan Demak. Angkatan perang ini bukan saja sebagai penjaga dan pengayom negara, tetapi juga untuk mewujudkan cita-cita agama Islam sebagaimana yang telah dirintis oleh Wali Songo. Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah adalah putra Brawijaya (raja terakhir Majapahit) dengan seorang selir Cina. Karena Ratu Dwarawati (sang permaisuri) yang berasal dari Campa itu merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina itu pada putra sulungnya yang bernama Arya Damar (bupati Palembang). Kemudian lahirlah Raden Patah. kemudian Hasil pernikahan dengan Arya Damar, putri Cina itu melahirkan Raden Kusen. Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong menyatakan, bahwa nama panggilan Raden Patah sewaktu masih muda bernama Jin Bun yang merupakan putra Kung-ta-bu-mi (Bhre Kertabhumi) raja Majapahit. Kemudian selir Cina diberikan pada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Dari perkawinan kedua itu, sang putri melahirkan Kin San. Kronik Cina tersebut memberitakan bahwa tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa sewaktu Raden Patah lahir, Bhre Kertabhumi belum menjadi raja. 
Raden Patah yang kemudian pindah ke Jawa Tengah itu membuka hutan Gelagah Wangi untuk dijadikan pesantren. Konon pesantren Gelagah Wangi ini kian hari kian mengalami kemajuan. Raden Patah kemudian di angkat sebagai bupati. Sedangkan Gelagah Wangi di ganti dengan nama Demak yang beribukota di Bintara. 

Masa Kejayaam Kerajaan Demak

Pada masa Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Raden Patah merasa berkewajiban untuk membantu. Jatuhnya kerajaan Malaka berarti putusnya jalur perdagangan nasional. Untuk itu, ia mengirimkan putrannya, Pati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka. Namun, usaha itu tidak berhasil. Setelah Raden Patah wafat pada tahun 1518, ia digantikan oleh putranya Pati Unus. Pati Unus hanya memerintah tidak lebih dari tiga tahun. Ia wafat tahun 1521 dalam usahanya mengusir Portugis dari kerajaan Malaka.
Saudaranya, Sultan Trenggono, akhirnya menjadi raja Demak ketiga dan merupakan raja Demak terbesar. Sultan Trenggono berkuasa di kerajaan Demak dari tahun 1521-1546. Sultan Trenggono dilantik menjadi raja Demak oleh Sultan Gunung Jati. Ia memerintah Demak dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya dan agama Islam berkembang lebih luas lagi. Sultan Trenggono mengirim Fatahilallah ke Banten. Dalam perjalanannya ke Banten, Fatahillah singgah di Cirebon untuk menemui Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Bersama-sama dengan pasukan Kesultanan Cirebon, Fatahillah kemudian dapat menaklukan Banten dan Pajajaran.

Mundurnya Kerajaan Demak

Setelah wafatnya Sultan Trenggono pada tahun 1546, Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran karena terjadinya perebutan kekuasaan. Perebutan tahta Kerajaan Demak ini terjadi antara Sunan Prawoto dengan Arya Penangsang. Arya Penangsang adalah Bupati Jipang (sekarang Bojonegoro) yang merasa lebih berhak atas tahta Kerajaan Demak. Perebutan kekuasaan ini berkembang menjadi konflik berdarah dengan terbunuhnya Sunan Prawoto oleh Arya Penangsang. Arya Penangsang juga membunuh adik Sunan Prawoto, yaitu Pangeran Hadiri. Usaha Arya Penangsang menjadi Sultan Demak di halangi oleh Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggono. Jaka Tingkir mendapat dukungan dari para tetua Demak, yaitu Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi. Konflik berdarah ini akhirnya berkembang menjadi Perang Saudara. Dalam pertempuran ini, Arya Penagsang terbunuh sehingga tahta Kerajaan Demak jatuh ke tangan Jaka Tingkir. Jaka Tingkir menjadi raja Kerajaan Demak dengan gelar Sultan Hadiwijya. Ia kemudian memindahan pusat kerajaan Demak ke daerah Pajang.Walaupun sebenarnya sudah menjadi kerajaan baru, kerajaan Pajang masih mengklaim diri sebagai penerus Kerajaan Demak. Sebagai tanda terima kasih kepada Ki Gede Pemanahan yang telah mendukungnya, Sultan Hadiwijaya memberikan sebuah daerah Perdikan (otonom) yang disebut Mataram. Ki Gede Pemanahan kemudian menjadi penguasa Mataram dan di sebut Ki Gede Mataram. Sultan Hadiwijaya bukanlah digantikan oleh putranya, yakni Pangeran Benawa, melainkan putra Sunan Prawoto, Aria Pangiri. Pangeran Benawa sendiri diangkat sebagai penguasa daerah Jipang. Pangeran Benawan kurang puas dengan keputusan ini. Apalagi, pemerintahan Aria Pangiri di Pajang juga dikelilingi oleh para bekas pejabat Kerajaan Demak. Pangeran Benawa kemudian minta bantuan kepada Sutawijaya, putra Ki Ageng Mataram, untuk merebut Pada tahun 1588, Sutawijaya dan Pangeran Benawan berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Pajang. Kemudian, Benawa menyerahkan hak kuasanya pada Sutawijaya secara simbolis melalui penyerahan pusaka Pajang pada Sutawijaya. Dengan demikian, Pajang menjadi bagian kekuasaan Kerajaan Mataram.


KERAJAAN MATARAM ISLAM

Berdirinya Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram Islam adalah kerajaan yang berdiri pada abad ke-17 di Pulau Jawa. Kerajaan ini dipimpin oleh keturunan Ki Ageng Pemanahan, sebagai suatu kelompok ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kasultanan Pajang, berpusat di "Hutan Mentaok". Raja pertama adalah Sutowijoyo (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan. Berkat keberhasilannya membunuh Arya Penangsang dalam perang perebutan tahta atas Demak, Kyai Ageng Pemanahan mendapat hadiah tanah di Mataram dari Sultan Pajang. Di tempat inilah Kyai Ageng Pemanahan dan pengikutnya kemudian membuka hutan untuk dijadikan tempat permukiman. Di dalam sejarah Islam kerajaan Mataram ini berperan penting dalam perjalanan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Hal ini ditunjukkan dengan semangat raja-raja Mataram untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya dengan keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak Islam di Jawa. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Kerajaan ini pernah dua kali menyerang VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya perdagangan itu, namun ironisnya justru harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.

Ekspansi Kerajaan Mataram Islam 

Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris atau pertanian dan relatif tidak kuat dalam hal maritim. Kerajaan ini meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia (sekarang bernama Jakarta) dikuasai oleh Belanda. Sehingga di tahun 1628 dan 1629 Kerajaan Mataram pimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma menyerang Batavia. Penyerangan pertama gagal namun serangan kedua berhasil membunuh J.P. Coen. Basis penyerangan Kerajaan Mataram inilah yang sekarang disebut dengan daerah Matraman. Selanjutnya Kalimalang karena pada saat pasukan Kerajaan Mataram menyerang Batavia di tahun 1628 menemukan sungai yang bukan mengarah ke laut atau ke utara. Namun mengalir ke arah barat sehingga disebut dengan Kalimalang. Dalam bahasa Jawa arti dari kali adalah sungai sedangkan malang adalah melintang. Begitu juga Pademangan saat Kerajaan Mataram menyerang Batavia pada tahun 1628 banyak panglima perang yang tidak pulang ke Kerajaan Mataram. Sebab takut dipenggal kepalanya karena gagal menguasai Kota Batavia. Salah satu panglima tersebut menetap di Kota Batavia dan menjadi demang (penguasa setingkat desa dalam budaya Jawa). Karena itu daerah tersebut diberi nama Pademangan.  
Akibat terjadi perselisihan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kasultanan Banten dan Kasultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC.Masih mengenai ekspansi Kerajaan Mataram, Banten dan Batavia merupakan dua wilayah yang menjadi target serangan berikutnya. Serangan ke Banten dilakukan karena kerajaan itu menolak mengakui kekuasaan Mataram atas seluruh Jawa. Sementara itu, serangan ke Batavia dipicu oleh kemarahan Sultan Agung terhadap VOC yang menolak membantunya dalam serangannya ke Surabaya (D.G.E. Hall, tt: 274). Serangan yang berlangsung dua kali (tahun 1628 dan 1629) itu tidak membuahkan hasil. Persoalan logistik menjadi penyebab utama. Kegagalan serangan ke wilayah barat tidak mengurangi ambisi Susuhunan Ingalaga Mataram untuk mewujudkan kembali wilayah Majapahit maupun Demak. Sehubungan dengan hal itu, mulamula ia menempatkan penduduk dari Jawa Tengah dan Sumedang di daerah Krawang yang kala itu berupa semak belukar. Selain membuka hutan tersebut, mereka juga diwajibkan untuk menjadikan Krawang sebagai daerah pertanian padi Mataram. Selanjutnya, membangun jalan-jalan yang menghubungkan Krawang dengan Mataram. Berikutnya, Sultan juga bersekutu dengan orang orang-orang Portugis di Malaka dan orang-orang Inggris di Banten. Adapun pengiriman beras ke Batavia dilarang dan sebagai gantinya pedagang-pedagang beras diperintahkan untuk langsung mengirimkan dagangannya ke Malaka. Kegagalan penyerangan ke Batavia juga mengubah arah politik Kerajaan Mataram. Salah satu perubahan yang mencolok, sebagaimana tercatat dalam Daghregister, adalah penarikan kapalkapal perang Mataram dari Teluk Krawang pada awal Maret 1634 (J.J. de Graaf, 1986: 197). Selanjutnya, ekspansi wilayah yang tadinya mengarah ke barat beralih ke timur, terutama wilayah Blambangan dan Bali. Usaha tersebut berhasil dengan baik. Blambangan menyerah pada tahun 1639 dan mayoritas penduduknya dipindahkan ke pusat kerajaan meskipun akhirnya bersama-sama dengan Bali menghalau serangan Mataram dengan berani luar biasa dan mempertahankan kebebasannya. 

Islamisai Kerajaan Mataram Islam

Pada masa pemerintahan Sultan Agung para ulama yang berada di kasultanan terbagi dalam tiga bagian. Yaitu ulama yang masih berdarah bangsawan, ulama yang bekerja sebagai tenaga birokrasi, dan ulama pedesaan yang tidak menjadi tenaga brokrasi. Sebagai penguasa Sultan Agung sangat menghargai para ulama karena mereka memiki moral dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Jika ingin membuat kebijakan Sultan Agung selalu meminta nasehat dan pertimbangan kepada para ulama (Darmawijaya, 2010 : 74-75). Peran ulama pada saat itu lebih menitikberatkan pada Islamisasi terhadap budaya-budaya yang masih melekat dihati masyarakat Mataram. Seperti Sunan Kalijogo, beliau adalah seorang ulama yang selalu berusaha dengan keras agar ajaran agama Islam mudah diterima oleh masyarakat yang sudah kuat tertanam nilai kepercayaannya sebelum Islam masuk. Beliau dengan sabar mensiarkannya melalui karya seni yang sudah mentradisi di masyarakat. Pindahnya pusat pemerintahan dari pesisir utara Jawa ke daerah pedalaman yang bersifat agraris dan telah dipengaruhi oleh budaya dan tradisi sebelumnya. Demikianlah kondisi keberadaan Islam semenjak berpusat di Mataram campur tangan budaya setempat yang kemudian terkenal dengan Islam Kejawen. Penggunaan gelar Sayidin Panatagama oleh Panembahan Senopati menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya Mataram telah dinyatakan sebagai pemimpin dan pengatur agama. Mataram mewarisi agama dan peradaban Islam dari kerajaan Pesisir yang telah berdiri sebelumnya. Sunan Kalijogo sebagai penghulu di masjid Demak mempunyai pengaruh besar di Mataram baik sebagai pemimpin agama maupun pembimbing di bidang politik. Hubungan yang sangat erat dengan Cirebon memiliki peranan penting bagi perkembangan Islam di Mataram. Sifat mistik dari keraton Cirebon merupakan unsur yang penting, sehingga memudahkan Islam diterima oleh masyarakat Jawa di Mataram. Islam tersebut tentu adalah Islam sinkritisme yang menyatukan diri dengan unsur-unsur Hindu-Budha. 

Pemerintahan Amangkurat I (1645-1677) 

Mangku Rat I atau Amangkurat I (1646-1677) adalah raja Mataram berikutnya pengganti Sultan Agung. Di tahun pertama pemerintahannya ia menandatangi perjanjian damai dengan VOC yang berisi enam pasal. Dalam perjanjian tersebut diantaranya terdapat pasal yang mengatur pengiriman utusan Belanda ke Mataram, kesediaan Belanda mengatur perjalanan ulama Mataram, pembebasan tawanan Belanda di Mataram, penyerahan orang-orang berutang, perang bersama, serta pelayaran bebas di Kepulauan Maluku. Perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 24 September 1646 itu disambut suka cita oleh Belanda. Dentuman-dentuman meriam sebagai ekspresi perayaan perdamaian terdengar dari loji-loji Belanda. Pemerintahan di Plered bertumpu pada kekuatan militer. Rijklof van Goens mencatat bahwa Mangku Rat I memiliki 920.000 tentara dan 115.500 prajurit.  pemberontakan-pemberontakan pun mulai bermunculan, salah satunya adalah pemberontakan yang dimulai di Madura di bawah pimpinan Trunojoyo (1674) yang merupakan seorang pangeran dari Arisbaya. Dampak pemberontakan Trunojoyo berpengaruh terhadap luas wilayah Batavia.Mataram tidak hanya berkewajiban membayar semua biaya perang yang dikeluarkan Belanda untuk membantu menumpas pemberontakan Trunojoyo, melainkan juga menjamin konsesi perdagangan Belanda dengan menyerahkan banyak sekali daerah di selatan Batavia, pelabuhan, serta distrik Mataram juga sejumlah kota pantai utara Jawa sebagai jaminan. ). Raja Amangkurat I wafat semasa bergerak mundur di Tegal pada Juli 1677. Putra mahkota menggantikan ayahnya dan memakai gelar Amangkurat II.

Pemerintahan Amangkurat II (1677-1703)

Jatuhnya Plered membuat Adipati Anom sebagai penguasa baru Mataram kembali memindahkan ibu kota. Kali ini Kartasura dipilih sebagai pusat pemerintahan. Pemerintahan di Kartasura sepenuhnya dibawah bayang-bayang Belanda. Sementara terkait dengan kewilayahan Mataram di bawah Mangku Rat II kembali harus kehilangan wilayahnya. Beberapa di antaranya ialah distrikdistrik di perbukitan Priangan, Bogor, Krawang, serta Cirebon. Situasi ini memicu pemberontrakan yang dipimpin oleh Surapati (1678) seorang bekas budak Bali di Batavia. 

Pemrintahan Amngkurat III dan Paku Buwono I

Meninggalnya Mangku Rat II pada tahun 1703 membuat tampuk pemerintahan Mataram beralih ke puteranya yakni Sunan Mas yang bergelar Mangku Rat III. Pemimpin Mataram ini dikenal karena pemerintahannya yang tiran dan penuh darah. Di samping itu ia juga terlibat perselisihan dengan pamannya, Pangeran Puger, sehingga menyebabkan perselisihan yang disebut Belanda sebagai Perang Suksesi Pertama. Perebutan tahta di Mataram setahun setelah meninggalnya Mangku Rat II mendorong Belanda mengambil keuntungan. Pangeran Puger yang melarikan diri ke Semarang mendapat bantuan dari Belanda karena Sunan Mas bersekutu dengan Surapati untuk melawan Belanda. Sebagai imbalannya Pangeran Puger diangkat sebagai penguasa baru Mataram dengan gelar Paku Buwono I. Dari sisi kewilayahan dukungan Belanda terhadap Paku Buwono I berdampak pada menyusutnya wilayah Mataram. Melalui perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1705 membuat Mataram harus menyerahkan daerah-daerahnya. 

Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian yang disusun sebagai bentuk kesepakatan antara pihak Belanda yaitu perusahaan dagang bernama Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) dengan pihak Indonesia yaitu Kesultanan Mataram Islam. Perjanjian ini ditandatangani pada 13 Februari 1755. Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian antara VOC, pihak Kesultanan Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III, dan kelompok Pangeran MangkubumiBagi Belanda, perjanjian ini memberi banyak keuntungan. Kekuasaan Belanda semakin kuat mencengkeram tanah Jawa. Setelah perjanjian ditanda tangani, Jawa sepenuhnya berada di bawah pengaruh VOC
Secara garis besar isi Perjanjian Giyanti adalah membagi Mataram menjadi dua bagian, yakni Kasunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Pakubuwana III dan Kasultanan Yogyakarta di bawah rajanya yang bergelar Hamengkubuwana I. Sebelumnya, keraton Surakarta telah berdiri terlebih dahulu pada kurun waktu kekuasaan Pakubuwana II sebagai pengganti keraton Kartasura yang hancur lantaran serangan orang-orang Tionghoa di bawah kepemimpinan Amangkurat V
Perjanjian Giyanti memuat beberapa pasal, diantaranya yaitu:

1. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas separuh dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.

2. Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.

3. Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur

4. Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.

5. Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.

6. Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.

Peta Kerajaan Mataram Islam setelah melaksanakan perjanjian Giyanti dan Salatiga


Perjanjian Salatiga

Perjanjian Salatiga adalah perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga. Perjanjian ini adalah penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan Dengan berat hati, Sultan Hamengkubuwono I dan Sunan Pakubuwono III melepaskan beberapa wilayahnya untuk Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa). Ngawen yang kini berada di Gunungkidul, Yogyakarta dan sebagian Surakarta (Karanganyar dan Wonogiri) menjadi kekuasaan Pangeran Sambernyawa.

Perjanjian ini ditandatangani oleh Raden Mas Said, Sunan Pakubuwono III, VOC, dan Sultan Hamengkubuwono I di sebuah gedung bernama Gedung Pakuwon yang terletak di Jalan Brigjen Sudiarto No. 1, Kota Salatiga.

Di saat Pangeran Mangkubumi menempuh jalan perundingan damai dengan imbalan mendapat separuh bagian kekuasaan Mataram melalui Perjanjian Giyanti dan menjadi Sultan Hamengkubuwana I, Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) tetap melancarkan perlawanan.Dengan keberhasilan VOC menarik Pangeran Mangkubumi kedalam kubunya maka perlawanan Pangeran Sambernyawa menjadi menghadapi Pangeran Mangkubumi,Sunan Paku Buwono III dan VOC.Pangeran Sambernyawa tidak mau menyerah kepada salah satu dari ketiganya atau semuanya.Ketika VOC menyarankan untuk menyerah kepada salah satu dari dua penguasa (Surakarta, Yogyakarta) Pangeran Sambernyawa bahkan memberi tekanan kepada ketiganya supaya Mataram dibagi menjadi tiga kekuasaan.VOC ingin keluar dari kesulitan untuk mengamankan kantong finansial dan menyelamatkan kehadirannya di Jawa, sementara peperangan tidak menghasilkan pemenang yang unggul atas empat kekuatan di Jawa.Gabungan tiga kekuatan ternyata belum mampu mengalahkan Pangeran Sambernyawa sedang sebaliknya Pangeran Sambernyawa juga belum mampu mengalahkan ketiganya bersama sama.

Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 di Salatiga adalah solusi dari keadaan untuk mengakhiri peperangan di Jawa. Dengan berat hati Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III melepaskan beberapa wilayahnya untuk Pangeran Sambernyawa.Ngawen di wilayah Yogyakarta dan sebagian Surakarta menjadi kekuasaan Pangeran Sambernyawa.

Pihak-pihak yang menandatangani perjanjian ini adalah Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta, dan VOC, Kesultanan Yogyakarta, diwakili oleh Patih Danureja, juga terlibat. Perjanjian ini memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta. 

Setelah disepakati bersama pada tanggal 17 Maret 1757 isi Perjanjian Salatiga yaitu:

  1. Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji (Pangeran yang mempunyai status setingkat dengan raja-raja di Jawa).
  2. Pangeran Miji tidak diperkenankan duduk di Dampar Kencana (Singgasana)
  3. Pangeran Miji berhak untuk meyelenggarakan acara penobatan raja dan memakai semua perlengkapan raja.
  4. Tidak boleh memiliki Balai Witana.
  5. Tidak diperbolehkan memiliki alun-alun dan sepasang ringin kembar.
  6. Tidak diperbolehkan melaksanakan hukuman mati.
  7. Pemberian tanah lungguh seluas 4000 karya yang tersebar meliputi Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, Pajang sebelah utara dan selatan.






Tidak ada komentar:

SOAL PENILAIAN AKHIR TAHUN (SEMESTER GENAP) SEJARAH INDONESIA KELAS XI

1) Untuk menguasai kawasan Asia Pasifik Jepang menyerang pangkalan Amerika, dikawasan Asia Pasifik. Peristiwa penyerangan Jepang terhadap pa...