- Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang Di Bidang Ekonomi antara lain:
2) Pengawasan pertanian dan perkebunan. Pelaksanaan pertanian diawasi secara ketat dengan
tujuan untuk mengendalikan harga barang, terutama beras. Hasil pertanian diatur sebagai
berikut: 40% untuk petani, 30% harus dijual kepada pemerintah Jepang dengan harga yang
sangat murah, dan 30% harus diserahkan ke ‘lumbung desa’. Ketentuan itu sangat merugikan
petani dan yang berani melakukan pelanggaran akan dihukum berat. Badan yang menangani
masalah pelanggaran disebut Kempetai (Korps Polisi Militer), suatu badan yang sangat ditakuti
rakyat. Pengawasan terhadap produksi perkebunan dilakukan secara ketat. Jepang hanya
mengizinkan dua jenis tanaman perkebunan yaitu karet dan kina. Kedua jenis tanaman itu
berhubungan langsung dengan kepentingan perang. Sedangkan tembakau, teh, kopi harus dihentikan
penanamannya karena hanya berhubungan dengan kenikmatan. Padahal, ketiga jenis tanaman itu
sangat laku di pasaran dunia. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi
sangat merugikan rakyat.
Pengerahan sumber daya ekonomi untuk kepentingan perang. Untuk menguasai hasil-hasil
pertanian dan kekayaan penduduk, Jepang selalu berdalih bahwa untuk kepentingan perang. Setiap
penduduk harus menyerahkan kekayaannya kepada pemerintah Jepang. Rakyat harus menyerahkan
barang-barang berharga (emas dan berlian), hewan, bahan makanan kepada pemerintah Jepang.
Untuk memperlancar usaha usahanya, Jepang membentuk Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa)
dan Nogyo Kumiai (Koperasi Pertanian).
3) Menerapkan sistem Ekonomi Autarki
adalah sistem ekonomi swasembada dan perdagangan terbatas. Kondisi ini dapat terjadi jika suatu entitas dapat melakukan swasembada terhadap kebutuhannya. Artinya setiap daerah wajib memenuhi kebutuhannya sendiri secara mandiri tanpa adanya mobilisasi kebutuhan pokok antar wilayah yang telah ditentukan oleh Jepang.
- Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang Di Bidang Sosial antara lain:
Salah satu kebijakan yang cukup penting dalam bidang sosial adalah pembagian kelas
masyarakat seperti pada zaman Belanda. Masyarakat hanya dibedakan menjadi ‘saudara tua’
(Jepang) dan ‘saudara muda’ (Indonesia). Sedangkan penduduk Timur asing, terutama Cina adalah
golongan masyarakat yang sangat dicurigai karena di negeri leluhurnya bangsa Cina telah
mempersulit bangsa Jepang dalam mewujudkan cita-citanya. Hal ini sesuai dengan propaganda
Jepang bahwa ‘Asia untuk bangsa Asia’. Namun dalam kenyataannya, Indonesia bukan untuk bangsa
Asia, melainkan untuk bangsa Jepang. Untuk mencapai tujuannya, Jepang mengeluarkan beberapa
kebijakan di bidang sosial, seperti:
1) Pembentukkan Rukun Tetangga (RT) atau Tonarigumi. Untuk mempermudah pengawasan dan pengerahan
penduduk, pemerintah Jepang membentuk Tonarigumi (RT). Pada waktu itu, Jepang membutuhkan tenaga yang sangat besar jumlahnya untuk membuat benteng-benteng pertahanan,
lapangan pesawat terbang darurat, jalan, dan jembatan. Pengerahan masyarakat sangat terasa
dengan adanya Kinrohoishi (kerja bakti yang menyerupai dengan kerja paksa). Oleh karena itu,
pembentukkan RT dipandang sangat efektif untuk mengerahkan dan mengawasi aktivitas
masyarakat.
2) Romusha adalah pengerahan tenaga kerja secara paksa dan tanpa upah untuk membantu tugas-tugas yang harus
dilaksanakan oleh Jepang. Pada awalnya, romusha dilaksanakan dengan sukarela, tetapi lama kelamaan dilaksanakan secara paksa. Bahkan, setiap desa diwajibkan untuk menyediakan tenaga
dalam jumlah tertentu. Hal itu dapat dimaklumi karena daerah peperangan Jepang semakin luas.
Tenaga romusha dikirim ke beberapa daerah di Indonesia, bahkan ada yang dikirim ke Malaysia,
Myanmar, Serawak, Thailand, dan Vietnam. Para tenaga romusha diperlakukan secara kasar oleh
Balatentara Jepang. Mereka dipaksa untuk bekerja berat tanpa mendapatkan makanan,
minuman, dan jaminan kesehatan yang layak.
Kekejaman Jepang terhadap tenaga romusha menyebabkan para pemuda berusaha
menghindar agar tidak dijadikan tenaga romusha. Akhirnya, Jepang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kasar.
3) Pendidikan. Pada zaman Jepang, pendidikan mengalami peru-bahan. Sekolah Dasar (Gokumin
Gakko) diperuntukkan untuk semua warga masyarakat tanpa membedakan status sosialnya.
Pendidikan ini ditempuh selama enam tahun. Sekolah menengah dibedakan menjadi dua, yaitu:
Shoto Chu Gakko (SMP) dan Chu Gakko (SMA). Di samping itu, ada Sekolah Pertukangan (Kogyo
Gakko), Sekolah Teknik Menengah (Kogyo Sermon Gakko), dan Sekolah Guru yang dibedakan
menjadi tiga tingkatan. Sekolah Guru dua tahun (Syoto Sihan Gakko), Sekolah Guru empat tahun
(Guto Sihan Gakko), dan Sekolah Guru dua tahun (Koto Sihan Gakko).
Seperti pada zaman Belanda, Jepang tidak menyelenggarakan jenjang pendidikan universitas.
Yang ada hanya Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta, Sekolah Tinggi Teknik
(Kagyo Dai Gakko) di Bandung. Kedua Sekolah Tinggi itu meru-pakan kelanjutan pada zaman
Belanda. Untuk menyiapkan kader pamong praja diselenggarakan Sekolah Tinggi Pamongpraja
(Kenkoku Gakuin) di Jakarta.
4) Penggunaan Bahasa Indonesia. Menurut Prof. Dr. A. Teeuw (ahli Bahasa Indonesia
berkebangsaan Belanda) bahwa pendu-dukan Jepang merupakan masa bersejarah bagi Bahasa
Indonesia. Tahun 1942, pemerintah pendudukan Jepang melarang penggunaan Bahasa Belanda
dan digantikan dengan Bahasa Indonesia. Bahkan, pada tahun 1943 semua tulisan yang berbahasa Belanda dihapuskan diganti dengan tulisan berbahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia tidak hanya sebagai bahasa pergaulan, tetapi telah menjadi bahasa resmi pada
instansi pemerintah dan lembaga pendidikan. Sejak saat itu, banyak karya sastra telah ditulis
dalam Bahasa Indonesia, seperti karya Armin Pane yang berjudul Kami Perempuan (1943),
Djinak-djinak Merpati, Hantu Perempuan (1944), Barang Tidak Berharga (1945), dan sebagai-nya.
Pengarang lain seperti Abu Hanifah yang lebih dikenal dengan nama samaran El Hakim dengan
karyanya berjudul Taufan di atas Angin, Dewi Reni, dan Insan Kamil. Selain itu, penyair terkenal
pada masa pendudukan Jepang, Chairil Anwar yang mendapat gelar tokoh Angkatan ’45 dengan
karyanya: Aku, Kerawang Bekasi, dan sebagainya.
Dengan demikian, pemerintah pendudukan Jepang telah mem-berikan kebebasan kepada
bangsa Indonesia untuk mengguna-kan dan mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar, bahasa komunikasi, bahasa resmi, bahasa penulisan, dan sebagainya. Bahasa Indonesia
pun berkembang ke seluruh pelosok Tanah Air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar