Setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh
Ir.Soekarno dan Drs.Muhammad Hatta, seluruh tanah air pun menggegap gempita menyambut
kemerdekaan Indonesia. Berhubung dengan masih buruk dan minimnya sarana dan prasarana
komunikasi antara daerah di Indonesia mengakibatkan berita proklamasi kemerdekaan menyebar sampai beberapa bulan kemudian. Namun perjuangan para tokoh-tokoh kemerdekaan di pusat maupun di daerah tidak
berhenti sampai pada proklamasi kemerdekaan saja. Sebab, perlu diketahui bahwa ancaman
kedatangan Belanda untuk menjajah kembali di Indonesia masih terbuka. Untuk kedua kalinya Belanda datang ke Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu. Hal ini
menandakan bahwa Belanda ingin segera menegakkan kembali kolonialnya di Indonesia.Belanda
dengan NICA-nya disisipkan di antara markas/tentara Sekutu yang digunakan sebagai alat untuk
menegakkan kembali Hindia Belanda di daerah- daerah yang akan dimasuki Sekutu.
Tanggal 29 September 1945, Indonesia didatangi AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). AFNEI dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Lembaga ini merupakan pasukan sekutu yang bertugas di Indonesia.
Tugas AFNEI:
- menerima kekuasaan dari Jepang
- melucuti dan memulangkan orang Jepang
- membebaskan tawanan sekutu
- menjaga keamanan dan menyelidiki pihak yang diduga penjahat perang setelah Perang Dunia II selesai
kedatangan Belanda melalui NICA yang membonceng AFNEI adalah untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia. NICA dipimpin oleh Van der Plass dan Van Mook berusaha mempersenjatai kembali KNIL (Koninklijk Nerderlands Indisch Leger), yaitu Tentara Kerajaan Belanda yang ditempatkan di Indonesia. Bangsa kita pun berjuang dengan cara diplomasi serta kekuatan senjata untuk melawan Belanda yang akan menjajah kembali. Konflik antara Indonesia dengan Belanda ini akhirnya melibatkan peran dunia internasional untuk menyelesaikannya.
|
Urutan diplomasi dari konflik antara Indonesia dengan Belanda |
- Perundingan Linggarjati
Perjanjian ini dilaksanakan di Desa Linggarjati, perbatasan antara Cirebon dan Kuningan, pada tanggal 11 November 1946. Indonesia diwakili Sutan Syahrir, A.K. Gani, Susanto Tirtoprojo, dan Mohammad Roem. Pihak Belanda diwakuli Schermerhorn, dan penengah dari pihak Inggris diwakili Lord Killearn. Hasil dari perjanjian ini antara lain:
- Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
- Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
- Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
- Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Mengenai RIS sendiri, Soekarno menerima kompromi tersebut untuk menghindari perlawanan terhadap Belanda yang sulit dan pemahamannya mengenai sistem republik, maka ia dapat memimpin RIS yang mayoritasnya penduduk Indonesia. Sementara Komisi Jenderal juga menerima kompromi tersebut karena kemungkinan perang dapat dihindari dan hubungan Belanda dengan Indonesia dapat berlanjut.
2. Agresi Militer Belanda I
Agresi militer Belanda I, yang oleh Belanda dinamai Operasi
Produk, merupakan operasi militer yang dilakukan oleh Belanda di
daerah pulau Jawa dan Sumatra dari tanggal 21 Juli sampai 5 Agustus
1947. Belanda menyebut agresi militer belanda ini sebagai aksi
polisinil dan sebagai urusan dalam negeri untuk mengembalikan
ketertiban umum sehingga Belanda mengabaikan seruan masyarakat
dunia untuk mentaati isi perjanjian Linggardjati dan menghentikan
pertikaian dengan Indonesia.
Serangan Belanda dilakukan secara cepat dan mendadak, dengan
kekuatan militer yang modern. Perlawanan yang
dilakukan oleh pihak Indonesia sangat tidak memadai. Akibatnya
Belanda dengan mudah menduduki wilayah pulau Jawa dan Sumatra.
Pada tanggal 31 Juli 1947 pemerintah Republik Indonesia menulis surat kepada Dewan Keamanan PBB yang isinya meminta
supaya dewan keamanan bertindak untuk mengatasi sengketa
Indonesia-Belanda. Akhirnya dewan keamanan PBB mencela agresi
militer Belanda dan berpendapat bahwa harus segera diperintahkan
penghentian pertempuran dengan kedua belah pihak.
3. KTN (Komisi Tiga Negara)
Resolusi DK-PBB untuk mengadakan gencatan senjata diterima oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda pada tanggal 17 Agustus 1947. Pada tanggal 25 Agustus 1947 kemudian, DK-PBB membentuk sebuah komite kerja yang bertugas melakukan mediasi gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 27 Oktober 1947 Komisi Tiga Negara (KTN) tiba di
Jakarta. Dalam hari pertama, mereka berusaha mengenalkan dan
memahami keadaan dan persoalan yang harus mereka hadapi. Pemerintah Belanda membentuk delegasi untuk
menghadapi KTN dan RI dalam perundingan yang akan datang dan
pihak Indonesia sudah lebih awal menyusun delegasinya. Tetapi sebelum dilakukan perundingan
tentang soal-soal politik, harus diperoleh pengertian yang sama tentang
arti gencatan senjata menurut resolusi dewan keamanan. Oleh sebab itu,
sebelum diadakan perundingan KTN harus berusaha mempertemukan
kedua belah pihak, supaya kesamaan pengertiannya lebih terjamin.
Nama resmi lembaga kerja ini adalah "Committee of Good Office" for Indonesia. Meski demikian, lembaga ini lebih terkenal dengan dengan sebutan Komisi Tiga Negara karena keanggotaan lembaga ini yang memang hanya berisikan tiga negara, yakni Australia, Belgia, serta Amerika Serikat.
Negara-negara tersebut dipilih dan diwakili oleh:
• Australia: dipilih oleh Indonesia; diwakili oleh Richard C. Kirby.
• Belgia: dipilih oleh Belanda; diwakili oleh Paul van Zeeland.
• Amerika Serikat: pihak netral yang ditunjuk Indonesia & Belanda; diwakili oleh Dr. Frank Graham.
4. Perundingan Renville
Komisi mengusulkan mengadakan perundingan di sebuah kapal laut
yang berlabuh di luar wilayah tiga mil, dan hal ini disetujui, kedua
belah pihak mengajukan kepada pemerintah Amerika Serikat supaya
menyediakan kapal laut. Kemudian Amerika Serikat menyediakan sebuah kapal pengangkut pasukan pada tanggal 2 Desember 1947 kapal
Renville di teluk Jakarta dan di kapal ini akan di langsungkan
pembicaraan-pembicaraan antara negeri Belanda dan Republik
Indonesia dibawah pengawasan jasa-jasa baik.
Perundingan antara kedua belah delegasi di atas kapal Renville di
mulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan berakhir 17 Januari 1948
yang ditandai dengan penandatanganan persetujuan Renville.
Persetujuan Renville tersebut pada pokoknya berisi:
- Belanda tetap berdaulat atas seluruh Indonesia sampai
kedaulatan diserahkan kepada RIS (Republik Indonesia
Serikat) yang segera dibentuk.
- Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian
dari kekuasaannya kepada suatu pemerintahan Federal
semenetara.
- RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat akan menjadi
peserta sejajar dengan kerajaan Belanda dalam Uni-Nederland
Indonesia, dengan Belanda ssebagai kepalanya.
- RI akan merupakan negara bagian dari RIS.
- Dalam waktu sedikitnya 6 bulan dan selambat-lambatnya satu
tahun supaya diadakan pemilihan umum untuk membentuk
dewan Konstitusi RIS.
5. Agresi Militer Belanda II
Belanda karena telah memutuskan perundingan dengan RI karena Belanda
melancarkan Agresi Militer II di Yogyakarta. Pada tanggal 17 Desember 1948 Dr. Beel menyuruh Elink Schuurman
mengawatkan nota kepada Cochran yang harus dijawab Hatta paling lambat hari
Sabtu tanggal 18 Desember 1948. Batas waktu menjawab yang singkat membuat
seolah-olah nota tersebut seperti ultimatum. Setelah tidak menerima jawaban dari pihak RI maka Pemerintah Belanda
mengambil keputusan untuk memul ai aksi militer tersebut. Beel segera
mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk konsolidasi aksi tersebut.
Untuk mencegah agar aksi tersebut tidak bocor maka persetujuan gencatan senjata
43
dibatalkan pada tanggal 18 Desember 1948.
Pada Akhirnya PAsukan Belanda Berhasil mengambil alih Yogyakrta walau dengan perjuangan yang cukup berat karena TNI Indonesia juga melakukan perlawanan secara sengit. Sukarno dan Hatta akhirnya ditangkap oleh pihak Belanda.